KUPANG – Sebanyak 30-an tokoh masyarakat Riung, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara
Timur, yang tergabung dalam Forum Masyarakat Riung Tolak Tambang, menolak
rencana eksplorasi tambang biji besi oleh PT Laki Tangguh di daerah tersebut.
Hal tersebut disampaikan Ketua Forum Masyarakat Riung Tolak Tambang, Pastor
Johanes Bakok,SVD, kepada wartawan di Kupang, Sabtu,17 Maret 2012.
Menurut Bakok, adalah sebuah hal yang keliru, jika Kawasan Mbopok, lokasi
dimana potensi biji besi itu ada, seluas 28.921 hektare, diberikan kepada
perussahaan yang mendapat konsesi tambang biji besi, sementara kawasan ini
adalah penyangga pariwisata Taman Laut 17 Pulau Riung. “Kehadiran perusahaan tambang di
Riung tentu saja mencemaskan seluruh warga Riung. Kegelisahan warga terus
terjadi manakala berbagai pertanyaan belum terjawab hingga kini: mengapa
pertambangan masuk Riung, walau sudah ada penolakan oleh
warga setempat,” katanya.
Ia mengatakan, sebagai warga Riung, kami orang-orang
dari tanah Riung yang satu dan sama merasa terpanggil untuk membela tanah air
kami Riung dari keseweng-wenangan penguasa dan pengusaha yang getol menjadikan
tanah kami sebagai lokasi tambang, lokasi yang kemudian menjadi neraka bagi
warga Riung dan anak cucu kelak. Yang pasti pertambangan akan merusak daya dukung lingkungan dan berbagai eko sistem
laut. Karena itu,lanjut dia, tokoh masyarakat Riung mengharapkan Pemerintah Kabupaten Ngada untuk
segera mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan Bupati Ngada
bernomor 82 Tahun 2010 untuk PT Laki Tangguh yang mendapatkan konsesi tambang
bijih besi seluas 28.921 ha di kawasan Mbopok, kecamatan Riung.
“Kami juga meminta Pemerintah Kabupaten Ngada untuk lebih serius
mengurus pertanian, perkebunan kopi yang selama ini menopang kehidupan warga
Ngada daripada bermain dalam bidang pertambangan yang penuh mafia. Belum ada
contoh pertambangan yang ramah lingkungan dan memakmuran rakyat Indonesia,”
tambahnya.
Kata Bakok, Forum Masyarakat Riung Tolak Tambang, dengan tegas menolak kehadiran investor tambang di di daerah itu dan mengajak
seluruh warga Riung di mana saja berada untuk secara tegas menolak kehadiran
tambang dan mengutuk siapapun termasuk warga Riung yang “menjual” tanah leluhurnya demi tambang
karena silau uang sesaat.
Sementara itru, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) Nusa Tenggara Timur, Heribertus Naïf mendukung sepenuhnya penolakan
yang disampaiakan Forum Masyarakat Riung Tolak Tambang, dan menyerukan seluruh
komponen masyarakat agar menyelamatkan kawasan Nasional Riung di Kabupaten
Ngada dari ancaman tambang bijih besi.
Menurut Heribertus, daerah yang akan menjadi lokasi tambang biji besi
adalahKawasan Mbopok yang juga mencakup pesisir dan kawasan hutan Desa
Wangka, Ria dan Lengkosambi. Eksplorasi tambang bijih besi itu dilakukan
menyusul Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan Bupati Ngada bernomor
82/KEP/DESDM/2010 untuk PT Laki Tangguh mendapatkan konsesi tambang bijih besi
seluas 28.921 hektare.
“Perusahaan tersebut saat ini tengah mengajukan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) dan meminta tanggapan masyarakat mulai 16 Fabruari 2012
lalu. Sejatinya, jika ada penolakan dari masyarajkat, pihak perusahaan tidak
perlu memaksakan kehendak, ” katanya.
Ia mengatakan, pada 16 Januari 2012, perusahaan itu mengumumkan rencana
penyusunan dokumen AMDAL rencana kegiatan pertambangan bijih besi. Pengumuman
ini menyesatkan dan penuh kebohongan. Mereka menyatakan perusahaan tambang akan
meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
Semantara dampak negatifnya, katanya, hanya disebutkan konflik pemanfaatan
lahan dan masalah sosial budaya masyarakat. Padahal eksploitasi tambang itu
kelak akan membongkar kawasan Hutan Lindung dan Cagar Alam Wolotado. Juga
satu-satunya mata air warga, yaitu mata air Soer,dimana lebih dari 900 Kepala
Keluarga masyarakat Desa Wangka,Riung dan Bekek bergantung pada sumber air
tersebut, juga lahan-lahan pertanian warga yang ditanami jagung, jambu mete,
kemiri dan lainnya. “Sejak tahun lalu, warga Riung sudah menolak segala bentuk tambang yang
akan masuk ke kawasan mereka. Pada 11 Januari 2011 bertempat di Desa Latung,
mereka mengadakan upacara adat tolak tambang. Upacara ini juga didukung oleh
warga desa Wangka, Ria, Lengkosambi,“ ujarnya.
Ia menambahkan, tambang bijih besi akan mengancam keselamatan warga yang
sebagian besar bermata pencaharian petani dan nelayan. Pembongkaran kawasan
tangkapan air dan sumber-sumber air akan mengancam persediaan air minum warga,
berpotensi longsor dan keringnya lahan-lahan pertanian.
Sebenarnya, menurut Heribertus, Riung tak hanya terancam tambang. Kawasan
Riung secara sepihak ditetapkan menjadi kawasan hutran lindung sejak
1983, diubah dan diperbaharui pada 1999. Petani dibatasi mengelola lahan karena
sebagian besar berstatus hutan lindung. Sementara hutan-hutan adat diklaim
sebagai hutan negara.
Ia menuturkan, menyikapi adanya rencana pertambangan di Riung, Kabupaten
Ngada, Maka kami Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT mendukung sikap
masyarakat dan upaya penyelamatan kawasan Riung bebas dari pertambangan dan
model pembangunan yang merusak lainnya.
“Daerah itu dengan luas hutan dan sumber-sumber air terbatas harusnya
dilindungi, dijauhkan dari pertambangan yang merusak kawasan serapan, tangkapan
hujan dan sumber air. Sayangnya, pemerintah daerah sering tidak peduli dengan
persoalan yang dihadapi masyarakat.
by. frcom
No comments:
Post a Comment